TUGAS SOFTSKILL BAHASA INDONESIA
KELOMPOK II
Disusun Oleh :
Arip
Hidayat
Dimas
Wilayuda Putra
Dyah
Achwatiningrum
Eriek
Pratama
Faristia
Nahdlatul I
Haykal
Achmad Sufian Hutama
Hilman
Hidayatullah
Dosen Pembimbing :
Dr.
Ina Heliany, S.H., M.H.
FAKULTAS
ILMU KOMPUTER DAN TEKNOLOGI INFORMASI
SISTEM
KOMPUTER
UNIVERSITAS
GUNADARMA
ATA
2016 / 2017
Penolakan
Pembangunan Pabrik Semen oleh Warga Rembang
A.
Pendahuluan
Investasi
pabrik semen di Indonesia selalu mengalami banyak kendala. Antara lain sulitnya
mencari lahan penggalian disebabkan batu kapur yang menjadi bahan baku utama
semen berada di dalam zona ekonomi sekaligus konservasi karena berada di
kawasan karst. Selain itu, kendala juga terjadi pada saat perizinan yang rumit
baik kepada pemerintah maupun kepada warga setempat.
Pada
tahun 2008, PT Semen Indonesia (Persero) Tbk berencana melakukan ekspansi
dengan melakukan pembangunan pabrik baru di Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Namun,
warga melakukan penolakan keras sehingga proyek tersebut tidak bisa dilanjutkan.
Kemudian perseroan itu mengubah wilayah proyek tersebut ke Kabupaten Rembang,
Jawa Tengah. Namun lagi-lagi warga menolak proyek tersebut.
Lebih
lanjut, mengutip pemberitaan okezone.com (2011), rencana pembangunan pabrik
tersebut gagal karena mendapat penolakan dari masyarakat setempat. Pembangunan
pabrik semen di dua kabupaten Jawa Tengah (Rembang dan Pati) dengan investasi
sekitar Rp 10 triliyun, tidak semulus rencana. Di Pati, didemo habis-habisan
oleh warga dengan didukung sejumlah LSM, sehingga proyek tersebut tidak bisa
dilanjutkan.
Hal
ini dikarenakan secara keseluruhan sumber daya alam di wilayah Pati telah
memberikan manfaat terhadap 91.688 jiwa penduduk di kecamatan Sukolilo, dan
73.051 penduduk 3 kecamatan Kayen. Sekitar 15.873 ha sawah di sana dialiri air
dari pegunungan yang akan dieksplorasi pihak PT Semen Indonesia (Persero) Tbk.
Berbagai macam kelompok massa bergerak. Mulai dari warga, LSM, hingga
mahasiswa, bahu membahu menolak pendirian pabrik semen tersebut.
Kemudian
Gubernur Jawa Tengah mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Nomor 660.1/17 Tahun
2012 tentang Izin Lingkungan Kegiatan Penambangan dan Pembangunan Pabrik Semen
dan mengizinkan pembangunan pabrik semen milik PT Semen Gresik yang kemudian
berubah nama menjadi PT Semen Indonesia.
Dilansir republika.co.id (2013), Direktur
Utama Semen Indonesia, Dwi Soetjipto, menuturkan proses pengadaan lahan 200
hektare di Rembang dengan kemampuan tambang setara deposit 30 tahun sudah
diselesaikan. Konstruksi pabrik akan dimulai pada kuartal pertama 2013 sampai
kuartal pertama 2016.
B.
Permasalahan
Tanggal
16 Juni 2014, PT Semen Indonesia (Persero) Tbk menggelar kegiatan peletakan
batu pertama untuk mendirikan pabrik semen di Rembang. Hal ini menimbulkan
insiden, yakni sejumlah warga menggelar aksi demo, terlibat bentrok dengan
aparat kepolisian dan tentara. Warga dihadang barikade polisi, saat mencoba
mendekat ke lokasi peletakan batu pertama. Sejumlah peserta aksi jatuh pingsan,
sedangkan lainnya berteriak histeris (murianews.com, 2014).
Awal September 2014, mengutip metrotvnews.com (2014),
masyarakat bersama Wahana Lingkungan Indonesia (Walhi) mengajukan gugatan
terhadap Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 668.1/17 Tahun 2012
tersebut melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang. Mereka meminta
agar surat yang dikeluarkan pada masa Gubernur Bibit Waluyo itu dibatalkan.
Tahun 2015, Gugatan tersebut kandas. Hakim pada Pengadilan
Tata Usaha Negara (PTUN) menyatakan, gugatan tidak dapat diterima karena telah
melebih batas waktu yang ada atau kedaluarsa. (kompas.com, 2015)
Selain itu, sembilan perempuan dari tiga
kota di Jawa Tengah mengecor kaki mereka dengan semen, di depan Istana Merdeka,
Jakarta, untuk memprotes pembangunan pabrik semen tersebut. (bbc.com,
2016)
C.
Pembahasan
Pemprov
Jawa Tengah akhirnya menerbitkan izin lingkungan untuk PT Semen Indonesia yang mendirikan
pabrik di Kabupaten Rembang. Pendirian pabrik itu sendiri menjalani proses
panjang yang berliku karena ditentang oleh masyarakat.
Aksi
demo menentang pendirian pabrik mulai terjadi sejak 2014. Selain masyarakat
yang menentang, ada juga masyarakat yang mendukung pendirian pabrik.
Sejak
saat itu, hiruk pikuk penolakan terus bergulir hingga Gubernur Jawa Tengah
Ganjar Pranowo mencabut izin lingkungan PT Semen Indonesia. Pencabutan izin
tersebut tertuang dalam Surat Keputusan Gubernur No 660.1/4 Tahun 2017
tertanggal 16 Januari 2017 tentang Pencabutan Keputusan Gubernur Nomor 660.1/30
Tahun 2016 tentang Izin Lingkungan Kegiatan Penambangan Bahan Baku dan
Pembangunan serta Pengoperasian Pabrik Semen PT Semen Indonesia (Persero) Tbk.
Gubernur
Ganjar menyatakan batal dan tidak berlaku, Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor
660.1/17/2012 Tahun 2012 tanggal 7 Juni 2012 sebagaimana telah diubah oleh
Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 660.1/30/2016 Tahun 2016 tanggal 9
November 2016 tentang Izin Lingkungan Kegiatan Penambangan Bahan Baku Semen dan
Pembangunan Serta Pengoperasian Pabrik Semen PT Semen Indonesia di Kabupaten
Rembang.
Gubernur
juga memerintahkan PT Semen Indonesia (Persero) Tbk menyempurnakan dokumen
adendum amdal (analisis mengenai dampak lingkungan) dan Revisi Rencana
pengelolaan Lingkungan dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RKL-RPL). Hal itu
didasari putusan peninjauan kembali Mahkamah Agung Nomor 99 PK/TUN/2016 tanggal
5 Oktober 2016.
Kamis
(23/2/2017) kemarin, Gubernur Ganjar menerbitkan Keputusan Gubernur Nomor
660.1/6 Tahun 2017 terkait izin lingkungan untuk PT Semen Indonesia. Lalu
bagaimana proses penyempuraan dokumen adendum Amdal dan RKL-RPL yang dilakukan
oleh PT Semen Indonesia?
Corporate
Secretary PT Semen Indonesia Agung Wiharto menjelaskan setidaknya ada tiga hal
yang harus disempurnakan oleh pihaknya untuk memenuhi syarat. Pertama terkait
sosialisasi kepada masyarakat sekitar pabrik, kedua soal daerah resapan air
(acquifier), dan terakhir tentang kebutuhan masyarakat sekitar pabrik.
“Menyempurnakan
acquifer atau daerah resapan air agar sistem mata air di sana terlindungi.
Menyempurnakan untuk mayarakat, apa yang dibutuhkan masyrakat yakni air sudah
kita lakukan. Kita bangun MCK, siapkan embung, dan lain-lain,” ujar Agung dalam
keterangan tertulis yang diterima detikcom, Selasa (28/2/2017).
“Hakim
tidak melihat dengan benar tata-cara melindungi acquifer atau daerah resapan
air. Padahal kami sudah mengirimkan dokumen yang dibuat Pak Budi Sulistijo
(penyusun Amdal PT SI yang merupakan spesialis eksplorasi, lingkungan dan
hidrogeologi ITB) soal sumber mata air, dan lain-lain tadi. Tapi tidak dilihat
sama hakim MA. Tapi kita sempurnakan dengan beberapa tambahan dari Pak Budi,”
lanjutnya.
Terkait
kurangnya sosialisasi pada masyarakat, menurut Agung, majelis hakim berdasarkan
bukti dengan daftar 2.501 masyarakat yang menolak. Padahal menurut Agung 2.501
dalam daftar tersebut tercantum nama-nama yang tidak masuk akal.
“Di
dalamnya ada tercantum copet terminal atau power rangers. Itu kan ngaca.
Padahal dulu di PTUN Semarang, dokumen itu disingkirkan oleh hakim karena
menganggap dokumen itu main-main. Tapi di MA justru dijadikan bukti nomor satu.
Ketika bertemu Walhi, saya tanya, kan dulu dokumen itu sudah ditolak di PTUN
Semarang, kok malah dimasukkan sebagai bukti nomor satu di MA?” tanya Agung.
Agung menilai banyak kepentingan yang bermain dalam persoalan ini. Mulai dari
kompetisi, politik, kepentingan uang hingga kepentingan para ‘pahlwan’
lingkungan.
“Kalau
kepentingan ingin menjadi ‘pahlawan’ lingkungan, tentunya lebih mudah
disadarkan. Tapi kalau kepentingannya politik dan uang, pasti susah. Apalagi
kalau kepentingannya ternyata mewakili pihak kompetitor,” ungkapnya.
Agung
juga memaparkan di wilayah tersebut ada 17 aktivitas penambangan yang sudah
lama mendapat izin Bupati Rembang. Jika Semen Indonesia dilarang menambang di
wilayah tersebut, maka seharusnya perusahan lainnya juga dilarang.
“Mereka
itu perusahaan-peruahaan besar kok. Mereka punya izin galian C. Nah itu kan
penambangannya melibatkan ribuan masyarakat. Nah, kalau kami nanti dilarang,
kan tidak mungkin kalau mereka tidak dilarang. Kan CAT nya satu paket,”
terangnya.
“Penambangan
swasta jumlahnya sampai 17 buah. Tapi pada ke mana orang-orang itu? Kok mereka
tidak didemo? Tapi begitu kami yang masuk, kok jadi ribut. Tampaknya sekarang
ini kalau membela lingkungan kesannya hebat. Lha padahal kami sendiri juga
tidak ingin lingkungan rusak. Kami justru berkomitmen agar lingkungan tetap
bagus,” tegasnya.
Aksi cor kaki tetap
berjalan sampai Gubernur Jateng cabut SK
Hasil
pertemuan dan perbincangan antara Teten dengan warga Kendeng, pemerintah
menghentikan sementara operasional dan proses produksi sambil menunggu hasil
KLHS (Kajian Lingkungan Hidup Strategis). Pemerintah juga akan membicarakan
dengan institusi kepolisian terkait warga yang ditahan.
Namun
masih ada yang mengecewakan warga. Teten tidak memberikan tanggapan apapun
terkait Surat Keputusan (SK) Gubernur Jawa Tengah yang memberikan izin
lingkungan melalui Keputusan Gubernur Nomor 660.1/6 Tahun 2017. Keputusan
Gubernur ditandatangani Kamis (23/2) malam. Karena itu, aksi penolakan akan
terus dilakukan sampai Presiden meminta Gubernur Jawa Tengah mencabut SK-nya.
"KSP
(Kepala Staf Presiden) tidak memberikan tanggapan apa pun yang berkaitan dengan
SK Gubernur Jawa Tengah," kata Haris di kantor LBH, Jakarta, Selasa
(21/3).
Dalam
pertemuan itu, warga juga mengadukan sikap perusahaan semen yang sempat ngotot
beroperasi dan tidak mengindahkan perintah Presiden Joko Widodo agar semua pihak
menunggu hasil kajian lingkungan dari Kementerian Kehutanan dan Lingkungan
Hidup.
"Saat
presiden bilang tunggu, kenapa perusahaan semen Indonesia tidak menaati
presiden? Perusahaan semen itu BUMN, kenapa tidak menaati presiden?,"
tegas Haris.
Warga
juga mengadukan perilaku polisi menangkap warga yang melakukan aksi penolakan.
Di sisi lain, lanjut Haris, polisi cenderung diam saat perusahaan melanggar
kesepakatan. Namun dia tidak menyebutkan perwakilan perusahaan yang dinilai
mengingkari kesepakatan.
"Ada
warga yang ditangkap polisi, tetapi, ketika ada bagian dari perusahaan yang
melakukan pelanggaran, polisi tidak berbuat apa-apa," katanya.
"Jadi,
warga yang menolak pabrik semen bukan warga yang duduk di rumah dan bilang
'Tolak!'. Warga ini bergerak. Mereka (warga) tidak hanya punya dedikasi, mereka
juga aktif berkomunikasi," jelas Haris.
Sebelumnya,
Kepala Staf Presiden Teten Masduki menjelaskan petani yang melakukan aksi
pernah ditemui oleh Presiden Jokowi beberapa waktu lalu. Kala itu, persoalan
menjadi cair usai Presiden memberikan solusi dengan menunggu hasil KLHS yang
akan keluar pada April 2017. Namun, petani kembali mengulangi aksi mereka dua
hari berturut-turut sejak Senin (13/3) kemarin. Aksi dilakukan sebagai bentuk
respons atas kebijakan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mengeluarkan izin
baru.
"Nah
mereka ini kemudian memprotes kembali karena Gubernur (Ganjar Pranowo)
mengeluarkan izin baru. Nah memang Gubernur mempunyai kewenangan untuk
mengeluarkan izin," kata Teten kemarin.
Teten
mengatakan solusi awal yang diberikan pemerintah merupakan jalan terbaik buat
semua pihak. Sebab, pabrik semen tersebut pun telah berdiri di sekitar
Pegunungan Kendeng dengan investasi sekitar Rp 5 triliun. Permasalahan, terjadi
saat area tambang yang berjarak sekitar 10 Km dari pabrik diprotes oleh warga
karena dianggap daerah sumber air.
"Nah
memang Pemerintah Pusat tidak bisa mencegah karena Gubernur punya kewenangan
untuk mengeluarkan izin itu. Tapi nanti saya kira penyelesaian dari semua ini
memang harus tunduk pada hasil KLHS," kata Teten yang diminta Presiden
Jokowi untuk menangani hal ini.
Patmi, Petani Kendeng
Peserta Aksi Semen Kaki Meninggal Dunia
Kabar
duka datang dari rombongan petani Kendeng yang melakukan aksi penolakan
terhadap pembangunan pabrik semen di Rembang, Jawa Tengah. Patmi (48), salah
satu peserta aksi meninggal dunia beberapa lama setelah melakukan aksi semen
kaki.
Pada
Senin (20/3) kemarin, sejumlah perwakilan Petani Kendeng bertemu dengan Kepala
Kantor Staf Presiden Teten Masduki. Usai pertemuan, disepakati ada petani yang
tetap melanjutkan aksi semen kaki, ada pula yang pulang ke Jawa Tengah.
Berdasarkan
siaran pers dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBHI), Patmi merupakan salah
satu petani yang memilih untuk pulang kampung. Cor semen yang membungkus
kakinya pun dilepas.
"Bu
Patmi sebelumnya dinyatakan sehat dan dalam keadaan baik oleh Dokter. Kurang
lebih pukul 02.30 dini hari (Selasa, 21 Maret 2017) setelah mandi, bu Patmi
mengeluh badannya tidak nyaman, lalu mengalami kejang-kejang dan muntah,"
kata Ketua Bidang Advokasi YLBHI Muhammad Isnur dalam keterangannya, Selasa
(21/3/2017).
Dokter
yang mendampingi dan bertugas di LBH segera membawa Patmi ke RS St. Carolus
Salemba. Menjelang sampai di RS, dokter mendapatkan bahwa bu Patmi meninggal
dunia.
"Pihak
RS St. Carolus menyatakan bahwa bu Patmi meninggal mendadak pada sekitar Pukul
02.55 dengan dugaan jantung. Innalillahi wa inna lillahi roji'un," ujar
Isnur.
"Kami
segenap warga-negara Republik Indonesia yang ikut menolak pendirian pabrik
semen di Pegunungan Kendeng berduka atas kematian bu Patmi dalam aksi protes
penolakan di seberang Istana Presiden ini," sambung Isnur.
Bupati Rembang: Warga Asli Penolak Semen Kendeng
Hanya Segelintir
"Yang
kontra hanya sedikit. Yang bermain ini kebanyakan dari luar Rembang," ujar
Abdul di Kompleks Istana Presiden, Jakarta, Senin (3/4/2017).
Meski
demikian, Abdul enggan menyebutkan siapa kelompok masyarakat di luar Rembang
yang turut meramaikan penolakan aktivitas tambang PT Semen
Indonesia tersebut.
"Enggak
tahulah siapa. Umumnya pokoknya bukan orang Rembang. Orang Rembang itu hanya
beberapa gelintir saja," ujar dia.
Abdul
mengatakan, faktanya banyak masyarakat sekitar pertambangan yang mendapatkan
manfaat dari aktivitas PT Semen Indonesia.
Salah
satunya adalah mendapatkan pekerjaan dari proses pengolahan karst menjadi
semen. Namun, manfaat positif ini tetap tidak membuat masyarakat yang kontra
untuk mengubah pandangannya. Bagi mereka yang menolak, aktivitas tambang karst
tetap negatif.
"Bagi
yang kontra pasti tidak merasakan manfaat. Kalau yang pro ya pasti merasakan
manfaat. Jadi ini hanya persoalan ego saja," ujar Abdul.
Diketahui,
aktivitas penambangan karst di Watuputih, Pegunungan Kendeng,
Rembang, Jawa Tengah,
mendapat penolakan dari warga sekitar. Mereka menyebut, penambangan di
pegunungan itu merusak sumber air bagi warga.
Para
petani dan aktivis lingkungan hidup menggelar
aksi protes di depan Istana Presiden dengan membelenggu kedua kaki menggunakan
adukan semen.
Belakangan,
pemerintah pun sepakat menghentikan pengoperasian aktivitas penambangan di sana
sambil menunggu hasil KLHS. Hasil KLHS sendiri sebenarnya sudah rampung. Namun,
hasilnya mesti dikaji terlebih dahulu.
"Iya
KLHS-nya sudah keluar. Tapi belum bisa kami sampaikan," ujar Kepala Kantor
Staf Presiden Teten Masduki di
Kompleks Istana Presiden, Jakarta, Senin (3/4/2017).
Berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelenggaraan
KLHS, setelah hasil KLHS rampung, mesti diuji terlebih dahulu oleh para pakar.
"Sekarang
(hasil KLHS) sedang diuji oleh tim quality control atau ahli di bawah
Menteri lingkungan hidup dan
Kehutanan. Ini dalam proses," ujar Teten.
D.
Kesimpulan
Pro
dan kontra pembangunan pabrik PT Semen Indonesia (Persero) Tbk di
Rembang, Jawa Tengah masih
berlanjut. Semua pihak menunggu hasil resmi kajian Kajian lingkungan hidup Strategis
(KLHS).
Bagi
pihak yang setuju pada operasional pabrik semen ini, pelarangan pembangunan
pabrik Semen Indonesia di Rembang justru akan menghambat pasokan kebutuhan
semen nasional.
Mereka
khawatir jika pasokan semen dalam negeri kurang, maka pemerintah akan mengambil
langkah impor untuk memenuhi kebutuhan semen nasional.
Salah
satu hal yang diperkarakan dalam pembangunan pabrik Semen Indonesia ini adalah
masalah Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Pabrik Semen Indonesia ini
dinilai berada di wilayah Cekungan Air Tanah (CAT). Dengan demikian,
keberadaannya dianggap dapat merusak sumber air lingkungan sekitar wilayah tersebut.
Benarkah
begitu? Budi Sulistijo, pengamat AMDAL, membantah opini tersebut. Menurut dia,
penambangan di daerah CAT tetap boleh dilakukan secara hati-hati jika memang
terbukti memiliki sumber air. Sebaliknya, pelarangan pembangunan di wilayah CAT
justru akan mematikan industri mineral nasional.